1.1. Latar belakang
Sejak tahun 1990, isu pertanian organik
mulai berhembus keras di dunia. Sejak saat itu mulai bermunculan
berbagai organisasi dan perusahaan yang memproduksi produk organik. Di
Indonesia dideklarasikan Masyarakat Pertanian Organik Indonesia
(MAPORINA) pada tgl 1 Februari 2000 di Malang. Di Indonesia telah
beredar produk pertanian organik dari produksi lokal seperti beras
organik, kopi organik, teh organik dan beberapa produk lainnya. Demikian
juga ada produk sayuran bebas pestisida seperti yang diproduksi oleh
Kebun Percobaan Cangar FP Unibraw Malang. Walaupun demikian, produk
organik yang beredar di pasar Indonesia sangat terbatas baik jumlah
maupun ragamnya.
Pertanian organik dapat didefinisikan
sebagai suatu sistem produksi pertanian yang menghindarkan atau
mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik untuk pupuk, zat
tumbuh, maupun pestisida. Dilarangnya penggunaan bahan kimia sintetik
dalam pertanian organik merupakan salah satu kendala yang cukup berat
bagi petani, selain mengubah budaya yang sudah berkembang 35 tahun
terakhir ini pertanian organik membuat produksi menurun jika
perlakuannya kurang tepat.
Di sisi lain, petani telah terbiasa
mengandalkan pupuk anorganik (Urea, TSP, KCl dll) dan pestisida sintetik
sebagai budaya bertani sejak 35 tahun terakhir ini. Apalagi penggunaan
pestisida, fungisida pada petani sudah merupakan hal yang sangat akrab
dengan petani kita. Itulah yang digunakan untuk mengendalikan serangan
sekitar 10.000 spesies serangga yang berpotensi sebagai hama tanaman dan
sekitar 14.000 spesies jamur yang berpotensi sebagai penyebab penyakit
dari berbagai tanaman budidaya.
Alasan petani memilih pestisida sintetik
untuk mengendaliakan OPT di lahannya karena aplikasinya mudah, efektif
dalam mengendalikan OPT, dan banyak tersedia di pasar. Bahkan selama
enam dekade ini, pestisida telah dianggap sebagai penyelamat produksi
tanaman selain kemajuan dalam bidang pemuliaan tanaman. Pestisida yang
beredar di pasaran Indonesia umumnya adalah pestisida sintetik.
Sistem Pertanian Organik adalah sistem
produksi holistic dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan
produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan
pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan (Deptan
2002).
Sebenarnya, petani kita di masa lampau
sudah menerapkan sistem pertanian organik dengan cara melakukan daur
ulang limbah organik sisa hasil panen sebagai pupuk. Namun dengan
diterapkannya kebijakan sistem pertanian kimiawa yang berkembang pesat
sejak dicanangkannya kebijakan sistem pertanian kimiawi yang berkembang
yang berkembang pesat sejak dicanangkannya Gerakan Revolusi Hijau pada
tahu 1970-an, yang lebih mengutamakan penggunaan pestisida dan pupuk
kimiawi, walaupun untuk sementara waktu dapat meningkatkan produksi
pertanian, pada kenyataannya dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan
pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, yang akhirnya bermuara
kepada semakin luasnya lahan kritis dan marginal di Indonesia.
Sistem pertanian organik sebenarnya
sudah sejak lama diterap kan di beberapa negara seperti Jepang, Taiwan,
Korea Selatan dan Amerika Serikat (Koshino, 1993). Pengembangan
pertanian organik di beberapa negara tersebut mengalami kemajuan yang
pesat disebabkan oleh kenyataan bahwa hasil pertanian terutama sayur dan
buah segar yang ditanam dengan pertanian sistem organik (organic
farming system) mempunyai rasa, warna, aroma dan tekstur yang lebih baik
daripada yang menggunakan pertanian anorganik (Park 1993 dalam
Prihandarini, 1997).
Selama ini limbah organik yang berupa
sisa tanaman (jerami, tebon, dan sisa hasil panen lainnya) tidak
dikembalikan lagi ke lahan tetapi dianjurkan untuk dibakar (agar
praktis) sehingga terjadi pemangkasan siklus hara dalam ekosistem
pertanian. Bahan sisa hasil panen ataupun limbah organik lainnya harus
dimanfaatkan atau dikembalikan lagi ke lahan pertanian agar lahan
pertanian kita dapat lestari berproduksi sehingga sistem pertanian
berkelanjutan dapat terwujud
1.2. tujuan praktikum
1. untuk mengetahui tanaman apa saja yang dapat dibudidayakan pada daerah dataran rendah
2. untuk melihat secara langsung bagaimana cara pembuatan pupuk organik
3. untuk melihat bagai mana cara proses pemanfaatan gas alami yang di hasilan oleh kotoran sapi.
4. untuk mendapatkan penjelasan dan pelajaran dari seorang petani yg profesional didalam pengolahan lahan organik.
2. untuk melihat secara langsung bagaimana cara pembuatan pupuk organik
3. untuk melihat bagai mana cara proses pemanfaatan gas alami yang di hasilan oleh kotoran sapi.
4. untuk mendapatkan penjelasan dan pelajaran dari seorang petani yg profesional didalam pengolahan lahan organik.
1.3. Prinsip Pertanian Organik
Budidaya tanaman organik dilaksanakan di lahan yang bebas dari cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida, menggunakan benih/bibit non-GMO atau berasal dari kebun pertanian organik. Upaya peningkatan kesuburan tanah dan pemenuhan nutrisi/ha tanaman dilakukan melalui penambahan pupuk organik, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legum. Pengendalian hama, penyakit dan gulma dilakukan secara manual atau biopestisida dan agensia hayati.
Budidaya tanaman organik dilaksanakan di lahan yang bebas dari cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida, menggunakan benih/bibit non-GMO atau berasal dari kebun pertanian organik. Upaya peningkatan kesuburan tanah dan pemenuhan nutrisi/ha tanaman dilakukan melalui penambahan pupuk organik, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legum. Pengendalian hama, penyakit dan gulma dilakukan secara manual atau biopestisida dan agensia hayati.
BAB II
PEMBAHASAN
TEKNIK BUDIDAYA ORGANIK
PEMBAHASAN
TEKNIK BUDIDAYA ORGANIK
Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun
dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan,
dan manusia. Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang
digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk
organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya. Sumber
bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa
panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut
kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan
pertanian, dan limbah kota (sampah).
Teknik Budidaya merupakan bagian dari
kegiatan agribisnis harus berorientasi pada permintaan pasar. Paradigma
agribisnis : bukan Bagaimana memasarkan produk yang dihasilkan, tapi
Bagaimana menghasilkan produk yang dapat dipasarkan. Terkait dengan itu,
teknik budidaya harus mempunyai daya saing dan teknologi yang unggul.
Usaha budidaya organik tidak bisa dikelola asal – asalan, tetapi harus
secara profesional. Ini berarti pengelola usaha ini harus mengenal betul
apa yang dikerjakannya, mampu membaca situasi dan kondisi serta
inovatif dan kreatif. Berkaitan dengan pasar (market), tentunya usaha
agribisnis harus dilakukan dengan perencanaan yang baik dan berlanjut,
agar produk yang telah dikenal pasar dapat menguasai dan mengatur
pedagang perantara bahkan konsumen dan bukan sebaliknya.
Teknik budidaya organik merupakan teknik
budidaya yang aman, lestari dan mensejahterakan petani dan konsumen.
Berbagai sayuran khususnya untuk dataran tinggi, yang sudah biasa
dibudidayakan dengan sistem pertanian organik, diantaranya : Kubis
(Brassica oleraceae var. capitata L.), Brokoli (Brassica oleraceae var.
italica Plenk.), Bunga kol (Brassica oleraceae var. brotritys.), Andewi
(Chicorium endive), Lettuce (Lactuca sativa), Kentang (Solanum tuberosum
L.), Wortel. (Daucus carota).
Sayuran ini, mengandung vitamin dan
serat yang cukup tinggi disamping juga mengandung antioksidan yang
dipercaya dapat menghambat sel kanker. Semua jenis tanaman ini ditanam
secara terus menerus setiap minggu, namun ada juga beberapa jenis
tanaman seperti kacang merah (Vigna sp.), kacang babi (Ficia faba), Sawi
(Brassica sp) yang ditanam pada saat tertentu saja sekaligus
dimanfaatkan sebagai pupuk hijau dan pengalih hama. Ada juga tanaman
lain yang ditanam untuk tanaman reppelent (penolak) karena aromanya
misalnya Adas. Sayuran dataran rendah yang memerlukan budidaya khusus
adalah kangkung air dan genjer. Budidaya kangkung air dan genjer
dilakukan di sawah yang berpengairan teknis. Biasanya kangkung air
merupakan varietas ungu (berbatang dan berbunga ungu). Sementara
kangkung cabut varietas putih (berbatang hijau dan berbunga putih).
Meskipun sebenarnya, kangkung putih juga bisa dibudidayakan di lahan
basah, dan sebaliknya kangkung ungu bisa dibudidayakan di lahan kering.
Karena sifat budidayanya, maka kangkung air relatif lebih rendah
harganya dibanding kangkung cabut.
Kacang panjang, terung hijau
panjang/ungu, oyong, mentimun dan pare, merupakan sayuran dataran rendah
yang dibudidayakan secara massal di lahan sawah pada musim kemarau dan
di lahan kering pada musim penghujan. Kacang panjang dan terung
ungu/hijau panjang, paling banyak dibudidayakan karena pasarnya juga
paling besar. Sementara oyong dan pare relatif lebih sedikit volumenya.
Budidaya kacang panjang, oyong, mentimun dan pare memerlukan ajir.
Sementara terung tidak memerlukan ajir.
Komoditas sayuran dataran rendah yang
tidak dihasilkan oleh tanaman sayuran adalah nangka muda, pepaya muda,
daun melinjo berikut bunga dan buah mudanya. Jenis sayuran ini
diperlukan dalam volume besar terutama untuk sayur asem. Meskipun sangat
populer dan massal, namun hampir tidak ada petani yang bersedia
membudidayakan pepaya, nangka dan melinjo untuk bahan sayuran. Beda
dengan daun singkong. Di sekitar Jakarta sudah banyak petani yang
membudidayakan singkong hanya untuk dipetik daunnya.
Umumnya, jenis sayuran yang secara
sengaja dibudidayakan di dataran rendah hanyalah yang nilai komersialnya
relatif baik. Mulai dari selada, caisim, bayam cabut, kangkung cabut,
kacang panjang, mentimun, oyong, terung dan pare. Di luar Jawa,
khususnya di Kalimantan, NTT, Maluku dan Papua, budidaya sayuran dataran
rendah masih sebatas dilakukan oleh etnis Jawa atau Toraja. Etnis ini
memiliki tradisi mencangkul, memupuk dan marawat tanaman musiman.
Sementara etnis Dayak atau Flores (kecuali Manggarai) dan kebanyakan
etnis luar Jawa lainnya lebih mengenal tradisi berladang dan berkebun.
Yang dimaksud dataran rendah dalam
konteks ini adalah, kawasan dengan ketinggian mulai dari 0 m. dpl. sd.
sekitar 500 m. dpl. Ciri khas kawasan dataran rendah adalah udaranya
yang panas. Karenanya sayuran dataran tinggi seperti kol, wortel,
seledri, daun bawang dan kentang tidak mungkin dibudidayakan di kawasan
ini. Seledri dan daun bawang sebenarnya masih bisa dibudidayakan dengan
hasil cukup baik, asal pasarnya relatif jauh dari kawasan penghasil
sayuran dataran tinggi. Misalnya Pontianak, Samarinda, Ambon dan
terutama Kupang.
Pontianak mendapat suplai sayuran
dataran tinggi dari Medan (Brastagi) dan dari Jawa. Samarinda dan Ambon
memperoleh suplai dari Jawa dan Sulawesi. Kupang memperoleh suplai dari
Sulawesi dan Jawa, namun biaya transportasinya sudah sangat tinggi.
Hingga budidaya sayuran dataran rendah menjadi lebih dimungkinkan di
Kupang. Atau, ada upaya untuk mengintroduksi budidaya sayuran dataran
tinggi di Soe (kabupaten Timor Tengah Selatan). Soe berketinggian antara
500 m. dpl. sd. 1.000 m. dpl, airnya melimpah dan hanya berjarak 1,5
jam perjalanan dari Kupang.
Kekurangan suplai sayuran, bahkan lebih
terasa lagi di kota-kota yang relatif kecil seperti Waingapu (Sumba),
Tual (Kei), Sorong (Papua), Nunukan (Kaltim). Nunukan yang berbatasan
dengan Sabah, Malaysia, terpaksa mendapat suplai sayuran dataran tinggi
dari negeri jiran ini. Di nunukan, budidaya sayuran dataran rendah masih
sebatas bayam potong, terung, caisim, mentimun dan kemangi. Petaninya
masih terbatas etnis Jawa dan Toraja, dengan jumlah baru satu dua.
Biasanya mereka sekaligus beternak ayam, hingga kotorannya bisa menjadi
pupuk.
Budidaya sayuran dataran rendah dengan
biaya on farm paling murah, dialami oleh para petani di bantaran kali di
kota Jakarta. Mereka menggunakan pupuk sampah kota yang dibakar. Benih
mereka produksi sendiri. Pada budidaya musim kemarau, air irigasi mereka
ambil secara manual dengan gembor yang dipikul, langsung dari sungai.
Meskipun air sungai tersebut telah menghitam akibat pencemaran,
penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan, hasil sayuran tersebut
tidak tercemar logam berat. Biaya budidaya yang dikeluarkan oleh para
petani itu hanyalah tenaga kerja dan pupuk. Kendala utama yang dihadapi
oleh para petani sayuran di kawasan Jabotabek justru tingginya biaya off
farm berupa pungutan dari aparat serta preman.
Selada, caisim, kangkung, bayam cabut,
terung dan pare bisa dengan mudah dibenihkan. Caranya, selada, caisim
dan bayam dibiarkan tua dan keluar bunga serta menghasilkan biji.
Kangkung pun demikian, namun untuk menghasilkan biji sebanyak mungkin,
kangkung cabut ini harus diberi ajir agar merambat. Buah terung dan pare
juga dibiarkan menjadi tua dan masak untuk diambil bijinya. Para petani
sudah tahu, tanaman yang akan dibenihkan ini dipilih yang paling subur
dan tumbuh sehat. Dengan cara ini, petani bisa mengatur agar kebutuhan
benih untuk periode tanam berikutnya tercukupi.
Lahan yang akan ditanami sayuran
haruslah terkena panas matahari penuh sepanjang hari. Kualitas tanah
justru tidak menjadi masalah, sebab dengan adanya bahan organik cukup,
maka tanah pasir, tanah liat atau cadas sekali pun tidak menjadi masalah
untuk budidaya sayuran. Tanah ini dicangkul sampai gembur dan dibentuk
menjadi bedengan memanjang. Pada penanaman musim hujan, perlu dibuat
saluran pembuang air (drainase) yang cukup, hingga lahan tanaman tidak
tergenangi air. Pada penanaman musim kemarau, saluran drainase tidak
diperlukan. Sambil menggemburkan tanah, dilakukan pencampuran pupuk
organik.
Selain sampah kota yang dibakar, pupuk
untuk budidaya sayuran di sekitar kota juga bisa berupa kompos, kotoran
ayam atau limbah isi rumen (perut sapi, domba/kambing) dari rumah
pemotongan hewan (RPH). Pupuk organik yang paling murah adalah sampah
pasar yang dibakar. Pembakarannya tidak sampai menjadi abu, melainkan
cukup berupa arang. Sebab kalau sampai menjadi abu, bahan organis
tersebut justru sudah hilang nutrisinya. Abu yang banyak mengandung
soda, malahan bisa merusak tanaman sayuran yang perakarannhya sangat
lemah. Pupuk kompos bisa dibuat dengan menumpuk limbah organik berupa
daun-daunan kering atau sisa produk pertanian lainnya.
Sebenarnya, budidaya sayuran dataran
rendah di sekitar kota besar, juga bisa memanfaatkan pupuk kotoran
kelinci. Kualitas pupuk kotoran kelinci paling baik jika dibandingkan
dengan pupuk organik lainnya. Pakan kelinci bisa berupa limbah sayuran
hasil budidaya sendiri, bisa pula dengan mengambil limbah pasar berupa
daun kembang kol, kelobit jagung dll. yang biasanya menumpuk di
pasar-pasar tradisional. Pemeliharaan kelinci, selain menghasilkan pupuk
organik kualitas tinggi, juga bisa memberikan tambahan penghasilan bagi
petaninya. Namun, jenis kelinci yang dipelihara haruslah kelinci lokal
yang cocok hidup di dataran rendah. Bukan kelinci ras unggul yang hanya
cocok dipelihara di dataran tinggi.
Setelah bedengan dengan pupuk organiknya
siap, benih sayuran cukup ditaburkan di lokasi penanaman. Agar
penyebaran benih merata, terlebih dahulu dicampur tanah atau pupuk
organik, baru kemudian disebar. Benih yang bisa langsung ditebar
demikian adalah bayam dan kangkung cabut. Sementara caisim, selada,
kenikir, kemangi, dan terung haruslah disemai terlebih dahulu baru
kemudian dipindahkan ke lahan. Penyemaian benih biasanya dilakukan di
bedeng yang terpisah dari bedeng pembesaran. Sayuran kacang panjang,
mentimun, oyong dan pare memerlukan ajir atau pagar sebagai rambatan.
Karena sayuran merupakan komoditas yang
hanya bisa dipasarkan segar dalam volume terbatas namun setiap hari
harus ada, maka budidayanya harus diatur agar bayam, kangkung, caisim,
selada dll. itu bisa dipanen tiap hari. Kalau tiap hari pasar hanya
mampu menyerap bayam dan kangkung cabut 10 ikat, maka penyebaran benih
dilakukan seminggu sekali, dengan perkiraan hasil panennya akan mencapai
70 ikat. Kalau satu ikat kangkung dan bayam cabut dihasilkan dari lahan
seluas 625 cm2 (0,25 cm. X 0,25 cm), maka untuk menghasilkan 70 ikat
per minggu, harus ditanam satu petak bedengan ukuran 5 m2 (2,5 m. X 2
m.).
Kalau umur panen kangkung dan bayam
cabut 40 hari, maka untuk bisa mensuplai 10 ikat kangkung/bayam cabut
per hari, diperlukan lahan penanaman seluas 35 m2. (5 m. X 7 m.). Kalau
penanaman dilakukan tiap minggu @ 5 m2, maka pada minggu VI lahan yang
pertama ditanami sudah dipanen dan siap untuk ditanami lagi. Dengan
demikian, rotasi penanaman untuk menghasilkan kangkung/bayam cabut 10
ikat per hari bisa dicapai. Lahan seluas 35 m2 tersebut tidak boleh
ditanami bayam dan kangkung darat sekaligus. Sebab hasil panennya akan
mencapai 70 ikat per hari hingga tidak bisa terpasarkan.
Meskipun panen diharapkan rutin tiap
hari, penanaman dalam skala kecil tidak perlu dilakukan tiap hari.
Dengan pola penanaman seminggu sekali, panen tiap hari masih
dimungkinkan. sebab dalam kenyataannya, tanaman dalam satu petak ukuran 5
m2 tersebut, pertumbuhannya tidak akan seragam. Pemenenan yang
dilakukan satu hari sekali, hanya akan mengambil individu tanaman yang
benar-benar sudah siap panen. Kalau tanaman yang tumbuh bongsor itu
dicabut, maka tanaman disebelahnya yang sebelumnya tidak mendapat suplai
hara serta sinar matahari cukup, akan segera ikut tumbuh bongsor.
Waktu perawatan dalam hal ini adalah
Penyemprotan Pestisida pada lahan organik tidak dengan cara yang
sembarangan pula akan tetapi penggunaan bahan pestisida ini adalah
berupa bahan organik juga bukan bahan bahan kimia. Jenis pestisida yang
digunakan pada budidaya tanaman bayam secara organik adalah daun Mindi
yang mengandung margosin, glikosdida flafonoid untuk mengendalikan ulat
grayak dan kutu daun, Surian yang daun dan kulit batangnya berfungsi
untuk mengendalikan hama ulat, tungau dan lain-lain. Sedangkan untuk
mengendalikan penyakit bisa digunkan bunga Camomil (Chamaemelum spp).
Pengaplikasian dengan menggunakan 60 cc untuk 1 lt air, disemprotkan ke
tanaman yang terkena hama pada daun dan batangnya 1 minggu 1 kali
(google search: pembuatan pestisida alami, Blog Lesman).
Penyemprotan dilakukan dengan
menggunakan alat penyemprot berupa tangki sprayer. Cara penyemprotan
yaitu jangan dilakukan ketika angin bertiup kencang dan jangan menentang
arah datangnya angin. Jangan melakukan penyemprotan pada saat akan
hujan dan sebaiknya dicampurkan bahan perekat. Waktu penyemprotan
dilakukan pada pagi hari benar atau sore hari ketika udara masih tenang.
Hal tersebut untuk menghindari matinya lebah atau serangga lainnya yang
menguntungkan.
Hama dan Penyakit
A. Hama
1) Serangga ulat daun (Spodoptera Plusia Hymenia)
Gejala: daun berlubang – lubang. Pengendalian: pestisida / cukup dengan menggoyangkan
tanaman.
2) Serangga kutu daun (Myzus persicae Thrips sp.)
Gejala: daun rusak, berlubang dan layu. Pengendalian: pestisida / cukup dengan
menggoyangkan tanaman.
3) Serangga tungau (Polyphagotarsonemus latus)
Gejala: daun rusak, berlubang dan layu. Pengendalian: pestisida / cukup dengan
menggoyangkan tanaman.
4) Serangga lalat (Liriomyza sp.)
Gejala: daun rusak, berlubang dan layu. Pengendalian: pestisida / cukup dengan menggoyangkan tanaman.
A. Hama
1) Serangga ulat daun (Spodoptera Plusia Hymenia)
Gejala: daun berlubang – lubang. Pengendalian: pestisida / cukup dengan menggoyangkan
tanaman.
2) Serangga kutu daun (Myzus persicae Thrips sp.)
Gejala: daun rusak, berlubang dan layu. Pengendalian: pestisida / cukup dengan
menggoyangkan tanaman.
3) Serangga tungau (Polyphagotarsonemus latus)
Gejala: daun rusak, berlubang dan layu. Pengendalian: pestisida / cukup dengan
menggoyangkan tanaman.
4) Serangga lalat (Liriomyza sp.)
Gejala: daun rusak, berlubang dan layu. Pengendalian: pestisida / cukup dengan menggoyangkan tanaman.
b. Penyakit
1) Rebah kecambah
Penyebab: cendawan Phytium sp. Gejala: menginfeksi batang daun maupun batang daun. Pengendalian: Fungisida
2) Busuk basah
Penyebab: cendawan Rhizoctonia sp. Gejala: adanya bercak – bercak putih. Pengendalian: sama dengan pengendalian penyakit rebah kecambah.
3) Karat putih
Penyebab: cendawan Choanephora sp. Gejala: menginfeksi batang daun dan daunnya. Pengendalian: sama dengan pengendalian penyakit rebah kecambah.
1) Rebah kecambah
Penyebab: cendawan Phytium sp. Gejala: menginfeksi batang daun maupun batang daun. Pengendalian: Fungisida
2) Busuk basah
Penyebab: cendawan Rhizoctonia sp. Gejala: adanya bercak – bercak putih. Pengendalian: sama dengan pengendalian penyakit rebah kecambah.
3) Karat putih
Penyebab: cendawan Choanephora sp. Gejala: menginfeksi batang daun dan daunnya. Pengendalian: sama dengan pengendalian penyakit rebah kecambah.
c. Gulma
Jenis gulma: rumput – rumputan, alang-alang. Ciri – ciri: tumbuh mengganggu tanaman budidaya. Gejala: lahan banyak ditumbuhi pemila liar. Pencegahan: herbisida.
Pemanenan (contoh tanaman bayam)
a. Ciri dan Umur Panen
Ciri-ciri bayam cabut siap panen adalah umur tanaman antara 25 – 35 hari setelah tanam. Tinggi tanaman antara 15 – 20 cm dan belum berbunga. Waktu panen yang paling baik adalah pagi atau sore hari, saat suhu udara tidak terlalu tinggi.
b. Cara Panen
Cara panennya adalah dengan mencabut seluruh bagian tanaman dengan memilih tanaman yang sudah optimal. Tanaman yang masih kecil diberi kesempatan untuk tumbuh membesar, sehingga panen bayam identik dengan penjarangan.
c. Periode Panen
Panen pertama dilakukan mulai umur 25 – 30 hari setelah tanam, kemudian panen berikutnya adalah 3-5 hari sekali. Tanaman yang sudah berumur 35 hari harus dipanen seluruhnya, karena bila melampaui umur tersebut kualitasnya menurun atau rendah; daun – daunnya menjadi kasar dan tanaman telah berbunga.
e. Pascapanen
1) Pengumpulan
Pengumpulan dilakukan setelah panen dengan cara meletakkan di suatu tempat yang teduh agar tidak terkena sinar matahari langsung, karena dapat membuat daun layu.
2) Penyortiran dan Penggolongan
Penyortiran dilakukan dengan memisahkan bayam yang busuk dan rusak dengan bayam yang baik dan segar. Disamping itu juga penggolongan terhadap bayam yang daunnya besar dan yang daunnya kecil. Setelah itu diikat besar – besar maupun langsung degan ukuran ibu jari.
3) Penyimpanan
Penyimpanan untuk menjaga kesegaran bayam dapat diperpanjang dari 12 jam tempat terbuka (suhu kamar) menjadi 12 – 14 hari dengan perlakuan suhu dingin mendekati 0 derajat C, misalnya dengan remukan es.
4) Pengemasan dan Pengangkutan
Pengemasan (pewadahan) dalam telombong atau dedaunan yang digulungkan menyelimuti seluruh bagian bayam, sehingga terhindar dari pengaruh langsung sinar matahari. Pengangkutan ke pasar dengan cara dipikul maupun angkutan lainnya, seperti mobil atau gerobak.
5) Pencucian
Pencucian hasil panen pada air yang mengalir dan bersih, atau air yang disemprotkan melalui selang maupun pancuran.
Jenis gulma: rumput – rumputan, alang-alang. Ciri – ciri: tumbuh mengganggu tanaman budidaya. Gejala: lahan banyak ditumbuhi pemila liar. Pencegahan: herbisida.
Pemanenan (contoh tanaman bayam)
a. Ciri dan Umur Panen
Ciri-ciri bayam cabut siap panen adalah umur tanaman antara 25 – 35 hari setelah tanam. Tinggi tanaman antara 15 – 20 cm dan belum berbunga. Waktu panen yang paling baik adalah pagi atau sore hari, saat suhu udara tidak terlalu tinggi.
b. Cara Panen
Cara panennya adalah dengan mencabut seluruh bagian tanaman dengan memilih tanaman yang sudah optimal. Tanaman yang masih kecil diberi kesempatan untuk tumbuh membesar, sehingga panen bayam identik dengan penjarangan.
c. Periode Panen
Panen pertama dilakukan mulai umur 25 – 30 hari setelah tanam, kemudian panen berikutnya adalah 3-5 hari sekali. Tanaman yang sudah berumur 35 hari harus dipanen seluruhnya, karena bila melampaui umur tersebut kualitasnya menurun atau rendah; daun – daunnya menjadi kasar dan tanaman telah berbunga.
e. Pascapanen
1) Pengumpulan
Pengumpulan dilakukan setelah panen dengan cara meletakkan di suatu tempat yang teduh agar tidak terkena sinar matahari langsung, karena dapat membuat daun layu.
2) Penyortiran dan Penggolongan
Penyortiran dilakukan dengan memisahkan bayam yang busuk dan rusak dengan bayam yang baik dan segar. Disamping itu juga penggolongan terhadap bayam yang daunnya besar dan yang daunnya kecil. Setelah itu diikat besar – besar maupun langsung degan ukuran ibu jari.
3) Penyimpanan
Penyimpanan untuk menjaga kesegaran bayam dapat diperpanjang dari 12 jam tempat terbuka (suhu kamar) menjadi 12 – 14 hari dengan perlakuan suhu dingin mendekati 0 derajat C, misalnya dengan remukan es.
4) Pengemasan dan Pengangkutan
Pengemasan (pewadahan) dalam telombong atau dedaunan yang digulungkan menyelimuti seluruh bagian bayam, sehingga terhindar dari pengaruh langsung sinar matahari. Pengangkutan ke pasar dengan cara dipikul maupun angkutan lainnya, seperti mobil atau gerobak.
5) Pencucian
Pencucian hasil panen pada air yang mengalir dan bersih, atau air yang disemprotkan melalui selang maupun pancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar